Ada hal
menarik dari pidato Barack Obama, presiden ke-44 Amerika Serikat, saat
berkampanye mendukung kandidat gubernur dari Partai Demokrat di New Jersey dan
Virginia, 19 Oktober 2017. Di antara isi pidato yang menarik dan menjadi pesan
politik impresif adalah terkait dengan situasi AS saat ini yang diwarnai
polarisasi tajam di masyarakat, sebagai dampak dari pemilu presiden AS di
manaDonaldTrump tampil menjadi pemenang. “Kalau
Anda menang kampanye dengan memecah-belah rakyat, Anda tidak bisa memerintah,
sebab Anda nantinya tak bisa mempersatukan mereka.” Demikian penggalan pidato
Obama yang menarik diulas dalam konteks fenomena kontestasi elektoral yang
kerap menjadi “ritus prosedural mengerikan” karena kerap menghalalkan segala
macam cara untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan.
Narasi
persuasi dalam kampanye, publisitas politik, dan propaganda kembali akan ramai
mewarnai ragam kanal-kanal warga. Tak ada yang salah dengan persuasi, hanya
wajib diingatkan terus-menerus bahwa kampanye, propaganda dan publisitas
politik yang akan dilakukan oleh siapa pun yang menjadi petarung dalam
perebutan kekuasaan, harus memperhatikan tanggung jawab politiknya di kemudian
hari. Jangan sampai narasi persuasi membakar secara sengaja rumah besar
Indonesia, tempat bersemayamnya keragaman dan menyebabkan terjadinya
retrogresi politik kebangsaan akibat syahwat kekuasaan yang sektarian.
Untuk
mendapatkan tempat dan penerimaan khalayak tadi, banyak kandidat yang akhirnya
terjerembab pada strategi politik memecah-belah warga secara sengaja, meskipun
kerap kali menampilkan dramaturgi di panggung depan, bahwa dirinya
prokebinekaan. Jika efektifnya penggunaan isu SARA dalam kontestasi elektoral
ini mendapatkan liputan media serta resonansi di media sosial
lantas direplikasi di banyak daerah lain yang akan menyelenggarakan pilkada di
2018 dan melangsungkan pilpres di 2019, maka sudah sewajarnya alarm tanda
bahaya harus dibunyikan dari sekarang!
Setiap
kandidat yang memenangi kontestasi pasti dihadapkan pada realitas yang sama,
yakni menunaikan janji yang sudah diucapkan. Anies Baswedan-Sandiaga Uno di DKI
Jakarta setiap hari akan dikontrol seluruh warga Jakarta, demikian juga Joko
Widodo-Jusuf Kalla yang akan ditagih rakyat Indonesia atas setiap narasi
kampanyenya di Pilpres 2014. Seorang teoretikus paradigma naratif, Walter
Fisher, dalam bukunya Human Communication as
Narration: Toward a PhilosophyofReason, ValueandAction (1987), menulis tentang pentingnya
membangun rasionalitas naratif. Baginya, tak semua narasi memiliki kekuatan (power) yang sama untuk bisa dipercayai. Dia
mengidentifikasi dua hal prinsip dalam rasionalitas naratif, yakni koherensi (coherence) dan kebenaran (fidelity).
Narasi itu sendiri dimaknai sebagai tindakan simbolik kata-kata dan atau
tindakan yang memiliki rangkaian serta makna bagi siapa pun yang hidup,
mencipta atau memberi interpretasi.
Para
kandidat yang menang punya tugas berat menghadirkan ketersambungan narasi saat
kampanye dengan saat berkuasa. Koherensi
struktural berpijak pada tingkatan di mana elemen-elemen dari sebuah narasi
mengalir lancar, terasa benang merahnya oleh khalayak. Koherensi material
merujuk tingkat kongruensi antara satu narasi dengan narasi lain yang berkaitan.
Semakin banyak paradoks, kian berpotensi tak dipercayai. Koherensi
karakterologis merujuk pada dapat dipercayainya karakter-karakter dalam narasi. Satu
hal lagi yang sangat penting dalam rasionalitas naratif adalah faktor kebenaran
(fidelity) yang merupakan reliabilitas dari sebuah
narasi. Maksudnya, sebuah narasi dianggap benar, ketika elemen-elemen dari
narasi merepresentasikan pernyataan-pernyataan akurat mengenai realitas sosial.
Semanis apa pun kata-kata yang pernah diucapkan dan seindah apa pun diksi yang
dipilih dan digunakan, jika tak terbukti dalam realitasnya akan menyebabkan
melemahnya dan tak dipercayainya narasi itu di masa mendatang. Narasi
kekuasaan memang kerap kali kehilangan rasionalitas naratifnya. Tak mudah
mewujudkan janji-janji kampanye yang memerlukan peran serta berbagai pihak.
Lebih tak mudah lagi, kalau narasi yang dibangun saat menuju ke kekuasaan
membuat warga terbelah dan tak cukup komitmen menyatukannya ulang, seperti
digambarkan Obama terjadi di AS kini.
cek selengkapnya di:
Rasionalitas Naratif Kekuasaan
Reviewed by Unknown
on
November 14, 2017
Rating:
Keren ka
ReplyDeleteSemangat terus menulisnya
Waw, Daebak sekali yaaaaa
ReplyDeleteAgak berat sih pembahasan nya tapi nice information banget, keren
ReplyDeleteKeren...
ReplyDeleteShare terus van
Keren bang informasinya. Kaya saya..
ReplyDeleteKerennn thanks to information
ReplyDelete