Tulisan ini merupakan sebuah tawaran model dialog antar agama yang menekankan pada
bagaimana komunikasi dilakukan dengan tidak mengabaikan keimanan masing-masing, sekaligus
tidak meninggalkan keimanan sendiri. Dialog sufistik tidak lagi memandang keyakinan penganut
agama tertentu sebagai sesuatu yang kaku, ia dilihat sebagai sesuatu yang dapat digunakan untuk
merajut komunikasi yang terbuka sehingga melahirkan bentuk dialog yang akan berkontribusi pada
kemajuan dan kemaslahatan bersama. Selain menjabarkan aturan ketika antar agama bertemu
dan menciptakan adanya dialog, tulisan ini juga membahas metodologi dialog, urgensinya dan
bentuknya, yang bagi penulis adalah paling ideal, yaitu dialog spiritual yang mengedepankan
nilai-nilai sufistik universal yang merangkul semua bentuk keimanan dan kepercayaan. Dialog
spiritual mencoba untuk menghilangkan sekat-sekat klaim eksklusifistik yang dianut sebagian kaum
beragama, menawarkan bentuk penghayatan keimanan yang melintas dan menyelam ke dalam
agama-agama lain, tanpa kehilangan identitas keyakinan sendiri. Dialog spiritual diharapkan
tidak saja mampu untuk menciptakan dialog yang diisi oleh nuansa keadamaian, tetapi juga mampu
mendorong setiap pelaku dialog untuk menggali kekayaan tradisi agama lain sehingga memerkaya
dan menyegarkan keimanannya sendiri.
Dalam rekaman sejarah, pemeluk tiga agama monoteis terbesar, yaitu Islam, Kristen dan Yahudi pernah bertemu dalam beragam interaksi baik secara simpatik maupun antagonistik. Dalam pandangan Kristen Abad Pertengahan, peradaban Islam dilihat sebagai peradaban yang lebih maju dari apa yang dicapai Kristen. Islam menciptakan deretan capaian yang sulit dikejar oleh peradaban Barat, baik di bidang arsitektur, hukum, sastra, falsafat dan ilmu pengetahuan lainnya termasuk kedokteran. Kekalahan Eropa dan Barat-Kristen di bidang militer juga membantu masyarakat Eropa memandang Islam sebagai ancaman. Gambaran negatif Islam terus-menerus berkembang, bahkan masih menyisakan jejaknya hari ini. Pandangan ini menciptakan gambaran orang-orang Muslim (Saracens), bangsa Moor (Muslim Afrika Utara dan Andalusia), serta orang-orang Turki sebagai ‘iblis.’ Michael Frasetto menulis bahwa gambaran Muslim di beberapa literatur Eropa Abad Pertengahan sebagai bangsa pagan penyembah berhala, pengecut, tamak dan pemuja Tuhan palsu.1 Sementara itu umat Yahudi sejak awal telah melakukan konfrontasi-konfrontasi politik dengan
umat Islam semenjak Nabi Muḥammad hijrah ke Madīnah. Pertikaian antara umat Islam dan umat Yahudi juga ditengarai lebih disebabkan faktor-faktor politis, daripada ideologis. Meskipun di kemudian hari, fakta sejarah mengatakan bahwa kaum Yahudi selalu hidup dalam keadaan yang relatif aman dan terjamin di bawah pemerintahan Muslim. Bahkan, tanah Islam selalu menjadi
tempat berlindung dari umat Kristen atau Yahudi yang mengalami penyiksaan di tanah
mereka sendiri
Kaum sufistik dan penggagas dialogdialog spiritual menawarkan pendekatan yang unik dan menantang untuk menciptakan pemahaman terhadap keanekaragaman dan perbedan sudut pandang keagamaan. Dialog batini yang mengajak peserta dialog untuk melintas ke dalam keimanan penganut agama lain tidak lain untuk mendapatkan pemahaman yang lebih kaya dan mendalam, untuk kemudian dipakai sebagai pupuk penyubur sudut pandangnya sendiri. Dialog yang mengedepankan nilai-nilai spiritualisme diharapkan mampu membuang sekat-sekat dogmatisme, kekakuan dan eksklusifisme yang menjadi faktor terhambat cita-cita hidup berdampingan dengan damai dan toleran dengan agama-agama lain. “Apa saja jika berkaitan dengan agama,” demikian David Hume,21 “Apa yang berbeda akan selalu berseberangan,” barangkali mewakili fakta yang ada, tetapi tawaran dialog sufistik spiritual juga menarik, karena “lampu bisa saja berbeda” demikian RÅ«mÄ«,22 “tetapi cahaya tetap sama” demikian penekanan John Hick
selengkapnya anda bisa membacanya di http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/ilmu-ushuluddin/article/view/4852
bagaimana komunikasi dilakukan dengan tidak mengabaikan keimanan masing-masing, sekaligus
tidak meninggalkan keimanan sendiri. Dialog sufistik tidak lagi memandang keyakinan penganut
agama tertentu sebagai sesuatu yang kaku, ia dilihat sebagai sesuatu yang dapat digunakan untuk
merajut komunikasi yang terbuka sehingga melahirkan bentuk dialog yang akan berkontribusi pada
kemajuan dan kemaslahatan bersama. Selain menjabarkan aturan ketika antar agama bertemu
dan menciptakan adanya dialog, tulisan ini juga membahas metodologi dialog, urgensinya dan
bentuknya, yang bagi penulis adalah paling ideal, yaitu dialog spiritual yang mengedepankan
nilai-nilai sufistik universal yang merangkul semua bentuk keimanan dan kepercayaan. Dialog
spiritual mencoba untuk menghilangkan sekat-sekat klaim eksklusifistik yang dianut sebagian kaum
beragama, menawarkan bentuk penghayatan keimanan yang melintas dan menyelam ke dalam
agama-agama lain, tanpa kehilangan identitas keyakinan sendiri. Dialog spiritual diharapkan
tidak saja mampu untuk menciptakan dialog yang diisi oleh nuansa keadamaian, tetapi juga mampu
mendorong setiap pelaku dialog untuk menggali kekayaan tradisi agama lain sehingga memerkaya
dan menyegarkan keimanannya sendiri.
Dalam rekaman sejarah, pemeluk tiga agama monoteis terbesar, yaitu Islam, Kristen dan Yahudi pernah bertemu dalam beragam interaksi baik secara simpatik maupun antagonistik. Dalam pandangan Kristen Abad Pertengahan, peradaban Islam dilihat sebagai peradaban yang lebih maju dari apa yang dicapai Kristen. Islam menciptakan deretan capaian yang sulit dikejar oleh peradaban Barat, baik di bidang arsitektur, hukum, sastra, falsafat dan ilmu pengetahuan lainnya termasuk kedokteran. Kekalahan Eropa dan Barat-Kristen di bidang militer juga membantu masyarakat Eropa memandang Islam sebagai ancaman. Gambaran negatif Islam terus-menerus berkembang, bahkan masih menyisakan jejaknya hari ini. Pandangan ini menciptakan gambaran orang-orang Muslim (Saracens), bangsa Moor (Muslim Afrika Utara dan Andalusia), serta orang-orang Turki sebagai ‘iblis.’ Michael Frasetto menulis bahwa gambaran Muslim di beberapa literatur Eropa Abad Pertengahan sebagai bangsa pagan penyembah berhala, pengecut, tamak dan pemuja Tuhan palsu.1 Sementara itu umat Yahudi sejak awal telah melakukan konfrontasi-konfrontasi politik dengan
umat Islam semenjak Nabi Muḥammad hijrah ke Madīnah. Pertikaian antara umat Islam dan umat Yahudi juga ditengarai lebih disebabkan faktor-faktor politis, daripada ideologis. Meskipun di kemudian hari, fakta sejarah mengatakan bahwa kaum Yahudi selalu hidup dalam keadaan yang relatif aman dan terjamin di bawah pemerintahan Muslim. Bahkan, tanah Islam selalu menjadi
tempat berlindung dari umat Kristen atau Yahudi yang mengalami penyiksaan di tanah
mereka sendiri
Kaum sufistik dan penggagas dialogdialog spiritual menawarkan pendekatan yang unik dan menantang untuk menciptakan pemahaman terhadap keanekaragaman dan perbedan sudut pandang keagamaan. Dialog batini yang mengajak peserta dialog untuk melintas ke dalam keimanan penganut agama lain tidak lain untuk mendapatkan pemahaman yang lebih kaya dan mendalam, untuk kemudian dipakai sebagai pupuk penyubur sudut pandangnya sendiri. Dialog yang mengedepankan nilai-nilai spiritualisme diharapkan mampu membuang sekat-sekat dogmatisme, kekakuan dan eksklusifisme yang menjadi faktor terhambat cita-cita hidup berdampingan dengan damai dan toleran dengan agama-agama lain. “Apa saja jika berkaitan dengan agama,” demikian David Hume,21 “Apa yang berbeda akan selalu berseberangan,” barangkali mewakili fakta yang ada, tetapi tawaran dialog sufistik spiritual juga menarik, karena “lampu bisa saja berbeda” demikian RÅ«mÄ«,22 “tetapi cahaya tetap sama” demikian penekanan John Hick
selengkapnya anda bisa membacanya di http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/ilmu-ushuluddin/article/view/4852
Dialog Sufistik: Membangun Relasi antar-Agama yang Konstruktif
Reviewed by Unknown
on
December 18, 2017
Rating:
Mantapsdah
ReplyDelete